Di atas gundukan tanah merah tawa kita merekah. Dulu kita bahagia
bersama, menghabiskan masa sebelum kita benar-benar serius ingin
menggapai asa. Dulu berlarian tanpa alas kaki dan merebah pada lempeng
bumi yang beratap langit biru adalah kegemaran kita. Aku tak pernah
mengeluh atas kesederhanaan hidup yang kita jalani. Aku selalu mengingat
setiap ucapan polos penuh makna mu yang memotivasiku “kita akan sulit
bahagia jika kita juga sulit bersyukur”. Darimu aku belajar banyak.
Dulu tanganmu tak sungkan menggengam pada sela-sela jemariku saat
diri ini tak mampu lagi mendaki. Dulu pundakmu begitu kuat menggendongku
di saat aku kelelahan untuk berjalan dan kembali pulang. Dulu kamu
selalu melindungiku. Sosok perkasamu tak pernah aku lupa. Kamulah
pembela dari segala kegaduhan dan kejahilan anak-anak nakal yang
mengusiliku. Hal lain yang aku senangi dari dirimu yaitu kamu tak pernah
sombong atas kepintaran yang kamu miliki. Tak pernah malas dan angkuh
dalam mengajari ulang aku setiap pelajaran IPA dan matematika yang
diajari ibu guru di sekolah. Betapa itu pelajaran yang susah namun
rasanya begitu mudah bagimu. Aku selalu merasa nyaman saat berada di
dekatmu, dalam segala kondisi, dalam setiap keadaan. Aku bahagia.
Pernah ingat harapan dan keinginan kita? Mungkin ini hanyalah sebuah
angan, namun bagaikan ikrar kita berdua yang terlontar saat kita duduk
bersama di atas bukit yang menghijau. Kamu dan aku pernah punya
cita-cita, kita berdua ingin menjadi dokter. Dulu kita ingin
mengelilingi dunia. Dulu terselip keinginan kita untuk pergi ke negeri
cokelat. Dulu kita pernah memiliki mimpi untuk membangun sebuah
kerajaan. Kamulah rajanya dan aku sebagai sang ratu. Masih ada lagi
berjuta harapan yang pernah kita rangkai bersama, terkandung dan diam
bersahaja dalam sebuah rantai impian.
Aku dan kamu, kita selalu bahagia. Dalam canda kuselipkan cinta
diam-diam. Cinta tak berucap yang aku harap dapat terbalaskan. Walaupun
aku tak tau pasti kapan itu akan terjadi.
Suatu hari, aku menemukanmu sedang duduk tersenyum di bawah pohon apel.
“Aditya, kamu kok senyum-senyum sendiri?” aku mendekatimu, lalu duduk tepat di sampingmu.
Melihat kedatanganku, kamu tiba-tiba saja memelukku, begitu erat sehingga aku sedikit sulit untuk bernafas. Tapi itu menyenangkan. Kamu lalu menunjukan sebuah lipatan surat putih kepadaku.
“Apa ini?”
“Buka saja. Sudah lama sekali, dan akhirnya kesampaian juga” kamu lalu tersenyum begitu lebarnya hingga sederet gigi putihmu tergambar indah.
“Aditya, kamu kok senyum-senyum sendiri?” aku mendekatimu, lalu duduk tepat di sampingmu.
Melihat kedatanganku, kamu tiba-tiba saja memelukku, begitu erat sehingga aku sedikit sulit untuk bernafas. Tapi itu menyenangkan. Kamu lalu menunjukan sebuah lipatan surat putih kepadaku.
“Apa ini?”
“Buka saja. Sudah lama sekali, dan akhirnya kesampaian juga” kamu lalu tersenyum begitu lebarnya hingga sederet gigi putihmu tergambar indah.
Kira-kira apa yang membuatmu sebahagia itu? Sebuah surat? Tapi apa
isinya? Apakah ini sebuah surat cinta? Apakah ini surat cintamu? Untuk
aku? Apakah ini secarik kertas berisikan perasaanmu kepadaku? Aku
bertanya pada gerangan.
Tanganku gemetaran membukanya. Entahlah, aku hanya berharap sesuatu yang baik.
“Be-beasiswa? Kamu dapat beasiswa!? Ke l-lua negeri?!” Aku berteriak dan tersentak kaget.
“Iya!!! Sudah lama aku mendambakannya! Aku berhasil Nania! Aku seneng banget!!” Adit lalu melompat dari tempatnya dan memelukku lagi. Namun kali ini lebih erat. Aku lalu membalas pelukan itu.
“Be-beasiswa? Kamu dapat beasiswa!? Ke l-lua negeri?!” Aku berteriak dan tersentak kaget.
“Iya!!! Sudah lama aku mendambakannya! Aku berhasil Nania! Aku seneng banget!!” Adit lalu melompat dari tempatnya dan memelukku lagi. Namun kali ini lebih erat. Aku lalu membalas pelukan itu.
Dalam sebuah pelukan kecil aku menangis terharu. Walaupun isinya tak
seperti yang aku bayangkan, namun aku sudah benar-benar bahagia dalam
keberhasilanya meraih beasiswa ke negeri orang, itu pencapaian yang
sangat luar biasa. Aku bahagia dalam bahagianya.
“Jadi itu berarti kamu akan pergi?” tanyaku memelas.
“I-iya..” dia sedikit ragu menjawab.
“Kapan kamu pulang?”
“Aku tak tau, mungkin 4 tahun lagi”
“Mengapa begitu lama?” aku sedikit menggigit bibirku
“Karena kita membutuhkan waktu yang lama untuk belajar”
“Tapi kamu tetap akan kembali ke sini kan?”
“Iya aku janji” dia lalu mengangkat kelingkingnya, demikian hal nya dengan aku. Kami berjanji kala itu. Untuk kembali ke tanah ini, sekitar 4 tahun lagi.
“I-iya..” dia sedikit ragu menjawab.
“Kapan kamu pulang?”
“Aku tak tau, mungkin 4 tahun lagi”
“Mengapa begitu lama?” aku sedikit menggigit bibirku
“Karena kita membutuhkan waktu yang lama untuk belajar”
“Tapi kamu tetap akan kembali ke sini kan?”
“Iya aku janji” dia lalu mengangkat kelingkingnya, demikian hal nya dengan aku. Kami berjanji kala itu. Untuk kembali ke tanah ini, sekitar 4 tahun lagi.
Dalam bahagia akupun bersedih. Aku berusaha menghilang dari perasaan
yang mulai menggelitik semakin merajam. Namun semakin lama justru aku
semakin sulit tuk bernapas dan bergerak dalam ruang hati yang terkunci
oleh cinta yang bersembunyi.
Diam-diam aku menyukaimu. Entahlah, apakah sama halnya dengan dirimu
ataukah justru sebaliknya? Kamu pernah berkata padaku “Kamu boleh kok
anggap aku sebagai kakak kandungmu sendiri, walaupun umur kita sama”.
Tapi bagiamana jika aku menganggapmu lebih? Bolehkah? Jika tidak boleh,
lantas bagaimana jika semuanya telah terlanjur? Aku sudah terlanjur
jatuh cinta karena hatimu. Aku selalu ingin berada di dekatmu, selalu.
Cinta itu semakin membesar dan memenuhi seluruh ruang jiwa. Aku tak
berani berucap dalam jujur. Walau aku tau dimanapun kita bersembunyi
cinta tetap akan menemukan kita. Tapi aku tak berharap cinta akan
menemukanmu kala itu. Dan taukah kamu? Aku berhasil, aku memenangkannya!
Cintaku berhasil aku sembunyikan. Cinta yang aku miliki pun tak mampu
menemukanmu. Ya tentu saja karena cinta itu nampaknya tak bisa melangkah
sejauh langkahmu meninggalkanku.
Aku tak pernah bersedih dan menghakimi Tuhan atas perpisahan kita.
Aku justru berterimakasih kepada-Nya atas kepintaran yang telah
dianugerahkan kepadamu sehingga kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk
bersekolah di luar negeri dengan standar mutu yang lebih baik. Hingga
saat ini, setelah kamu pergi meninggalkan tempat kita, aku tak pernah
tau kejelasan atas perasaanmu kepadaku. Tapi tak apa, aku akan menunggu
dengan setia.
—
Setiap malam bintang menghujan langit hitam. Kelap-kelip yang selalu
kita lihat bersama kini hanya mampu aku nikmati seorang diri. Aku masih
mencintai tanah ini, tempat masa kecil kita yang telah memberikan
berjuta kenangan. Setidaknya disinilah Tuhan pernah mempertemukan kita,
walaupun di tempat ini pula kita dipisahkan.
Terlalu banyak pertanyaan berputar dan bermuara pada otakku saat ini.
Kamulah tersangkanya. Kamu penyebab dari kepusingan dan kegundahan yang
selalu aku rasakan. Bagaimana dengan keadaanmu? Seperti apa sekolahmu
di sana? Bagaimana dengan teman-teman barumu? Bagaimana dengan hobbymu?
Masih samakah? Masih ingat dengan aku? Ah.. mungkin saja kamu sudah
lupa. Aku hanya kawan kecilmu yang tidak terlalu istimewa. Aku hanya
seorang gadis kecil berkuncir dua yang sulit untuk mengikat tali
sepatunya sendiri. Aku hanyalah seorang gadis yang suka ngambek kalau
direbut permen lolinya. Aku hanya gadis kecil dengan segala sifat
kekanak-kanakannya. Aku hanya gadis kecil yang menyukai warna merah muda
dan boneka teddy. Aku adalah seorang gadis kecil yang tak pantas namun
telah lancang untuk menyukai… dirimu. Maafkan atas kelancanganku ini.
Aku sempat menduga kamu telah melupakan semuanya, tentang kita dan
tempat ini. Aku sempat mengira kejeniusan otakmu telah benar-benar
membawamu pada dunia yang berbeda. Dunia tempat tinggalmu, penuh dengan
kemudahan teknologi yang berisikan orang-orang brilliant. Duniamu yang
baru, aku takut telah mengubah kawan kecilku yang dulu.
Tapi tidak, doktrin dan segala pikiran ngawurku yang sudah telontar
sangat jauh ternyata salah. Kamu kembali pulang. Kamu kembali ke tempat
kita, sayang. Aku tak ingin melepaskanmu kali ini. Tidak lagi, kamu
jangan pergi lagi. Jika kau temui seseorang yang pertama kali menangis
di saat kepergianmu, maka itulah aku.
“Kenapa kamu gak bilang-bilang aku dulu kalau kamu mau datang? Kan
biar aku bisa siapin makanan-makanan enak. Aku udah bisa masak loh?” Aku
tersenyum lebar, mengacungkan jempol kananku mantap.
“hehehe, aku cuma mau liburan aja. Aku mau memberitahukanmu sesuatu. Yah hitung-hitung mau ngasih surprise aja” Angin berhembus lembut diiringi tawa manisnya yang merekah indah.
“Surprise? Apa itu?”
“Itu artinya kejutan” Jawabnya santai.
“Oh haha. Oke Kejutan. Kamu emang udah bener-bener ngejutin aku banget. Tapi jujur aja aku seneng dengan kehadiranmu” Aku berucap dengan entengnya, tanpa menyembunyikan apapun yang ingin aku katakan.
“Haha.. eh anyway aku mau ngasih tau kamu sesuatu loh? Sesuatu yang spesial banget!”
“Apa Dit?”
“ada deh, hehe bukan sekarang”
“Ih kamu ini bikin penasaran deh. Kapan dong?”
“um entar deh aku hubungin kamu lagi”
“hehehe, aku cuma mau liburan aja. Aku mau memberitahukanmu sesuatu. Yah hitung-hitung mau ngasih surprise aja” Angin berhembus lembut diiringi tawa manisnya yang merekah indah.
“Surprise? Apa itu?”
“Itu artinya kejutan” Jawabnya santai.
“Oh haha. Oke Kejutan. Kamu emang udah bener-bener ngejutin aku banget. Tapi jujur aja aku seneng dengan kehadiranmu” Aku berucap dengan entengnya, tanpa menyembunyikan apapun yang ingin aku katakan.
“Haha.. eh anyway aku mau ngasih tau kamu sesuatu loh? Sesuatu yang spesial banget!”
“Apa Dit?”
“ada deh, hehe bukan sekarang”
“Ih kamu ini bikin penasaran deh. Kapan dong?”
“um entar deh aku hubungin kamu lagi”
Mungkinkah? Hal yang ingin dia sampaikan padaku itu merupakan jawaban
dari penantianku selama ini? Apakah setelah 4 tahun kita dipisahkan
Tuhan? Dan inikah hasilnya? Inikah takdirMu Tuhan? Benarkah? Jantungku
berpacu kuat, sekuat rusa yang berlari kencang, menghindar dari busur
panah.
“Hey Nania, kamu ngelihatin apa sih? Kok bengong gitu tiba-tiba. Haha
masih sama aja kayak dulu, sukanya bengong wae” Aditya lalu
megacak-acak pelan rambutku, sesuatu yang sangat aku sukai dari dia. aku
seperti merasa… di sayang?
“Ah enggak hehe” jemariku mulai memainkan gerakannya, merapikan rambutku yang sedikit berantakan dalam frekuensi tetap selama beberapa detik.
“Oh iya besok pagi aku mau pergi ke air terjun nih”
“Kamu mau ngajakin aku gitu maksudnya?” Ya ampun pipiku jadi memerah malu.
“eh, iyah? Sebenarnya.. ada yang ingin aku tunjukan padamu disana”
“Ada apa? Kok kamu..”
“ah enggak papa, besok pagi jam 8 aku jemput kamu ya? Aku udah lupa soalnya jalan menuju kesana makanya kamu ikut aku ya?” Aditya menggaruk pelan kepalanya.
“oke hehe”
“Ah enggak hehe” jemariku mulai memainkan gerakannya, merapikan rambutku yang sedikit berantakan dalam frekuensi tetap selama beberapa detik.
“Oh iya besok pagi aku mau pergi ke air terjun nih”
“Kamu mau ngajakin aku gitu maksudnya?” Ya ampun pipiku jadi memerah malu.
“eh, iyah? Sebenarnya.. ada yang ingin aku tunjukan padamu disana”
“Ada apa? Kok kamu..”
“ah enggak papa, besok pagi jam 8 aku jemput kamu ya? Aku udah lupa soalnya jalan menuju kesana makanya kamu ikut aku ya?” Aditya menggaruk pelan kepalanya.
“oke hehe”
Ya Tuhan, aku tidak sabar. Sudah lama aku menanti-nantikan kesempatan
seperti ini. Teman kecil yang Engkau pertemukan kembali. Betapa
beruntungnya aku.
Langit berangsur-angsur menunjukkan efek tyndal. Warna biru telah
tergantikan menjadi orange lalu kemudian hitam memenangkan semuanya,
kembali memakan langit dan terselimut gelap malam.
Semalaman aku sulit untuk tertidur. Mengapa jam berputar sangat
perlahan? Ayolah! Ingin rasanya aku menendang setiap jarum jam yang
bergerak per detiknya. Agar dia semakin cepat! Agar aku bisa beremu Adit
lagi, aku kangen ya Tuhan.
Sedikit demi sedikit aku terbuai jauh masuk melampaui batas alam sadar manusia. Aku tertidur.
—
“Nania, kok siap-siapnya lama sekali kamu? Ayo buruan, sudah di
tunggu Adit di depan tuh” Bapak berteriak dari arah ruang tamu. Suaranya
terdengar dengan sangat jelas sampai di kamar.
“Iya Pak, bentar lagi Nania keluar kok” Aku berusaha menyahut seruan itu.
“Ah tidak apa-apa kok pak, pelan-pelan saja” Terdengar pelan suara Aditya yang berkata kepada Bapak. Lalu keduanya tertawa.
“Iya Pak, bentar lagi Nania keluar kok” Aku berusaha menyahut seruan itu.
“Ah tidak apa-apa kok pak, pelan-pelan saja” Terdengar pelan suara Aditya yang berkata kepada Bapak. Lalu keduanya tertawa.
Aku lalu keluar kamar. Memakai baju short dress biru bermotif
bunga-bunga. Tidak, kali ini bajunya tidak seperti anak kecil. Umurku
sudah 18 Tahun, tidak lagi berbaju short dress pink dan berkuncir dua.
Kami lalu menaiki mobil Aditya. Sepertinya dia memang telah lupa arah
jalan menuju air terjun. Padahal dulu dialah kompasku, penunjuk jalan
kemanapun kami ingin bepergian. Yah waktu memang memiliki kemampuan dan
kekuatannya sendiri dalam mengubah seseorang, mengubah ingatan, karakter
dan pola pikir, apapun itu. Sepertinya sekaranglah giliranku, penunjuk
arah ke salah satu tempat favorit kami dulu. Tak heran, memang sudah
cukup banyak perubahan di sini, selain akses jalan yang sudah lebih
bercabang. Tapi sebenarnya tak jauh berbeda.
Sepanjang perjalanan Aditya memang sibuk menyetir dan bertanya arah
padaku. Tapi ada satu hal yang sedikit mengusikku. Dia juga terlihat
begitu sibuk dengan hapenya, tertawa dan tak henti mengutak-atik setiap
tuts mungil itu menggunakan tangan kanan semntara tangan kirinya tetap
menyetir. Aku hanya bertanya-tanya, memangnya hal menarik apa yang ada
dalam kotak elektronik kecil itu?
—
“Akhirnya sampai! Kok rasanya jauh ya? Padahal waktu kecil dulu
serasa cuma berjalan kaki lima menitan doang hehe” dia menarik napas
dalam dan menghembuskan, dalam.
“Haha, itu karena kita menikmati setiap langkah kita dulu. Kita juga menikmati setiap waktu yang berlalu hingga lelah tak pernah terasa begitu nyata” iya, aku memang menikmati semuanya, terutama.. terutama saat bersama kamu Adit. Ah andai kamu tau.
“iya iya mungkin kamu benar. Setuju banget aku” dia tersenyum.
“Haha, itu karena kita menikmati setiap langkah kita dulu. Kita juga menikmati setiap waktu yang berlalu hingga lelah tak pernah terasa begitu nyata” iya, aku memang menikmati semuanya, terutama.. terutama saat bersama kamu Adit. Ah andai kamu tau.
“iya iya mungkin kamu benar. Setuju banget aku” dia tersenyum.
Wajahnya masih sama, tak satupun berbeda kecuali goresan pada lekukan
pipinya sedikit lebih banyak dan raut wajah yang telah lebih dewasa.
Dari kejauhan terdengar suara seorang cewek yang memanggil nama
Aditya. Nampak seorang cewek yang baru keluar dari sebuah mobil hitam
mewah. Cewek itu cantik. Benar-benar bergaya ala cewek metropolitan.
Rambutnya sepanjang pinggang, hitam lebat dan sedikit bergelombang.
Kulitnya putih dan bersih. Dia memakai celana jeans selutut, kaos putih
polos yang dilapisi rompi hitam dan kalung dengan leontin berbentuk hati
yang setiap ujungnya seperti dilapisi intan-intan kecil dan di bagian
dalamnya terdapat huruf A&N. indah sekali kalung itu. Dia berjalan
perlahan, terlihat sangat anggun walaupun dengan style seperti itu di
tambah lagi sepatu kets putih di kaki. Dia menggantungkan tas kecil di
tangan kirinya lalu menghampiri Adit dan merangkulnya.
Aku tersentak kaget. Berani sekali cewek itu. Apakah dia… ah tidak mungkin. Aku tidak mau berpikir hal-hal yang buruk.
“A-adit..”
“Oh iya Nania, ini Nayla”
“H-hai Nayla. Aku Nania” kami lalu berjabat tangan. Tangannya lembut. Sepertinya dia tak pernah memegang benda kasar, tak mungkin.
“Oh iya Nania, ini Nayla”
“H-hai Nayla. Aku Nania” kami lalu berjabat tangan. Tangannya lembut. Sepertinya dia tak pernah memegang benda kasar, tak mungkin.
Aku masih terpesona padanya. Dia seperti sosok cewek yang, sempurna.
Dan jika aku bandingkan dengan diriku, tak mungkin kami sebanding, tak
mungkin selevel, tak mungkin sama! Tak mungkin. Aku sebenarnya tidak
terlalu mempermasalahkan hal itu. Masalah kecantikan, teralu banyak
cewek cantik yang pernah aku lihat di televisi walaupun dia salah
satunya. Tapi, mengapa rangkulannya terlihat begitu mesra? Aditya justru
membalas untuk merangkul leher panjang dan ‘wah’ nya itu. Aku cemburu!
Wajahku memerah! Tidak boleh Adit! Kamu tidak boleh sedekat itu.
Setidaknya kamu tidak boleh seperti itu di depanku.
Nania bodoh! Tak tau dirikah kamu? Hah, berani sekali. Memangnya ada
hak apa aku ini? Aku bukan siapa-siapanya. Iya! Aku bukan siapa-siapa
kamu Adit! Aku aku tak tau diri! Tapi sakit… sakit sekali.
“Nania, ada apa?” Adit menaikkan alis kanannya, memperhatikanku.
“A-ah eng-enggak kok” aku menunduk.
“Ini dia surprise yang aku maksudkan” Adit menepuk pelan pundak cewek yang bernama Nayla itu.
“Aku tunangan Adit” Nayla menggoreskan senyuman manis di bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda.
“A-ah eng-enggak kok” aku menunduk.
“Ini dia surprise yang aku maksudkan” Adit menepuk pelan pundak cewek yang bernama Nayla itu.
“Aku tunangan Adit” Nayla menggoreskan senyuman manis di bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda.
Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Dadaku berhenti
kembang-kempis. Bola mataku hampir meloncat keluar. Lidahku kaku.
Tanganku membeku. Tubuhku tak serasa lumpuh!
“Ja-jadi kejutannya…”
“iya tanggal 23 November nanti kami akan menikah. Aku ingin memperkenalkan seluruh kehidupanku dulu kepada dirinya” katanya. “Termaksud kampung halamanku, dan kamu. Pokonya semua masa kecil dan hal-hal yang mencangkup tentang aku deh! Hehe” dia lalu tertawa.
“iya tanggal 23 November nanti kami akan menikah. Aku ingin memperkenalkan seluruh kehidupanku dulu kepada dirinya” katanya. “Termaksud kampung halamanku, dan kamu. Pokonya semua masa kecil dan hal-hal yang mencangkup tentang aku deh! Hehe” dia lalu tertawa.
Masa lalumu. Iya benar, aku memang hanya sampah masa lalumu. Dalam
tawa yang sedang menghiasi wajahmu, aku menangis. Tak ada lagi kisah
indah yang aku bayangkan akan terjadi setelah kedatanganmu. Tak mungkin
lagi segala hal dan kejadian kita dulu akan terulang.
Kalian lalu bermain air terjun bersama. Setiap air yang menetes,
embun yang dihasilkan, tawa yang merekah, bahagia yang terlukis jelas…
kalian memang sangat serasi. Aku lebih memilih duduk sendiri. Dari
kejauhan aku hanya mampu melihatmu. Dari kejauhan aku hanya mampu
memanggil namamu dalam diam. Dari kejauhan aku mampu mencintaimu. Hanya
dari kejauhan aku mampu memandangimu. Dari kejauhan aku menangisimu.
Dari kejauhan cintaku rasanya telah hanyut. Terbawa air terjun yang
jatuh dari ketinggian 20 meter itu.
Tak seorangpun tau aku bersedih. Tak ada yang menyadari aku menangis.
Di atas batu besar aku sandarkan kesedihanku sendiri. Percikan air
terjun telah menyatu dengan air mataku, tak mungkin ada yang mampu
membedakan antara mereka, baguslah. Dalam sedu aku tersenyum saat kau
menoleh padaku. Tak maksud aku menghancurkan kebahagiaan kalian. Tidak.
Mencintai diam-diam selalu terasa sakit. Apalagi jika orang yang kita
cintai tak pernah sadar kalau kita mencintainya dan justru lebih memilih
untuk mencintai orang lain. Cinta yang di pendam itu tidak lebih baik,
Karena cepat ataupun lambat, cinta itu mampu membunuh mereka yang masih
saja memendamnya.
Memendam cinta, sakit bukan main. Rasanya hatiku hancur
berkeping-keping. Mengapa engkau harus datang lagi? Jika selanjutnya aku
tau kau akan pergi dan meminang wanita lain. Mengapa aku harus jatuh
cinta padamu? Mengapa aku begitu yakin pada perasaanku bahwa kamulah
masa depanku? Padahal bukan! Mengapa kali ini Tuhan memberiku cobaan
yang mampu menyayat perasaanku hingga ulu hati? Sakit sekali! Iya sakit!
Mengapa aku harus cinta padamu? Jadi sia-siakah penantian panjang yang
telah aku lakukan? Hilanglah sudah waktu berhargaku, menunggu sesuatu
yang justru menyakitkanku.
Jadi jelas sudah. Aku mengerti rasanya, KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar